Menikah Membuatku Jadi Kaya | Kisah Renungan

Dari:
Julian Patra 'Iyan'
Kepada:
Anggota Pecinta Kisah Nyata, Cerita Motivator, Kisah Renungan dan Info Penting V

Pesan:
Oleh Azimah Rahayu

Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, "Ke mana saja
uangmu selama ini?" Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke
mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka
belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya
selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk
bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga
besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah
terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat
sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai
acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu,
ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku
membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar.
Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan
traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak
jelas.

Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia
berkata, "Gajiku jauh di bawah gajimu...". Kata-kata suamiku -ketika
masih calon- itu membuatku terperangah. "Yang benar saja?" sambutku
heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi
perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat
numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan
gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah
mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah -walaupun
bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber
penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih,
bahkan "tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas." Fakta bahwa
gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat
dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?

***

Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. "Mana lagi baju, Mas?" tanyaku
pada suami yang tengah berbenah. "Udah, itu aja!" Aku mengernyit. "Itu
aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?" tanyaku lebih lanjut. "Iya,
banyak kan?" tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung
dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu
celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang
dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong
dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan
tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu
tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari
besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat
lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita
biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki.
Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku.
Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang
ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain
untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak
uang untuk belanja pakaian. Oo!

Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.

Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai
memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika
melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk
makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus
ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam
seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari.
Buah-makanan -kesukaanku-dan susu -minuman favorit suamiku- selalu
tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya
menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja
bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk
makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah
mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan
siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum
lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa
dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan
lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!

Baru sebulan menikah.
"De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?"
"Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu
adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi." Si mas pun
mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran
pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas,
lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu
rupiah.

Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi
berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan
raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua
ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali,
masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya
berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik
angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah
saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat,
karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu
rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah
pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum
lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran
ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.

Belum lagi tiga bulan menikah.
"Ke ITC, yuk, Mas?" Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku
belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar
tradisional. "Oke, tapi buat daftar belanja, ya?" kata Masku. Aku
mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat
yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik
tanganku dan berkata,"Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?" Aku
mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada
kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya.
Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu
kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?

Masih tiga bulan pernikahan "Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk
Bude?" Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir
jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat.
Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
"Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu..." Aku ingat, tadi pagi seorang
tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada
tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih
ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinjaman (meski tidak
langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si
Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan
menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan
lantas menjadi pelit!

***

Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang
mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru
kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama
ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku
hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan,
mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu
dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah,
memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang
yang kukumpulkan dari gajiku.

Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri.
Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak
menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku
juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu,
aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku
menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk
sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku
saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.
Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah
pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari
langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat
yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...

********************

klo ada comment boleh di tulis di wall grup ini, caranya
1. Judul Artikel
2. Testi tentang artikel tersebut
3. Testi tentang grup ini
4. Kumpulkan Point Privilege Member kalian (Info klik
http://www.facebook.com/topic.php?topic=16318&uid=287105207511 )
thx
<!Y@N>

0 komentar:

Posting Komentar

Peternakan Kelinci Holland Lop Sheno dan Rizky
Jl. Cikadut Dalam (Arah Terminal Cicaheum Bandung) No. 270, RT 6/ RW 3, Mandalajati, Karang Pamulang, Mandalajati, Kota Bandung, Jawa Barat 40273
0819-1050-0571

www.jualkelincihollandlop.info