Memadukan Karakter dengan IQ & SQ

                Pribadi-pribadi yang mampu memfungsikan secara optimal potensi-potensi rasional (IQ), karakter (EQ) dan spiritual (SQ). Mereka tidak saja mampu bersikap dan berpikir empiris, tetapi juga transendental serta mampu melaksanakan dengan sebaik-baiknya hubungan dengan Tuhan, hubungan antar pribadi termasuk hubungan dengan diri sendiri dan alam sekitar. Hubungan dengan sesama diwarnai oleh silaturahmi, memperhatikan kepentingan bersama, menghargai pendapat orang, menghormati martabat serta saling menunjang pengembangan potensi diri sendiri dan orang lain, serta berusaha mencegah diri dari permusuhan. Dalam bahasa psikologi hubungan mereka dengan sesama manusia ditandai oleh sikap ke-Kita-an, dan bukan ke-Kami-an atau pun ke-Aku-an. Mereka sangat menghargai alam sekitar (benda, flora dan fauna), tak pernah mengabaikan atau merusaknya, tetapi senantiasa berusaha untuk memelihara dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Bahkan rasa kagum terhadap alam semesta membuatnya kagum pula kepada Sang Pencipta alam semesta, sehingga makin meningkatkan iman dan taqwa kepadaNya.
Menurut Derk dalam Scott (1996), kecerdasan adalah kemampuan memproses informasi dan memecahkan masalah. Kecerdasan emosi (EQ) adalah suatu kecerdasan yang merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Goleman, 2000). Sedangkan Salovey dan Mayer dalam Goleman (2000) mendefinisi kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Dan secara lebih praktis, Scott (1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memecahkan masalah yang berhubungan dengan situasi sosial dan hubungan antara manusia.
Penemuan konsep EQ telah mengubah pandangan para praktisi sumber daya manusia bahwa keberhasilan kerja bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan akademik yang diukur dengan IQ yang tinggi tetapi lebih pada kecerdasan emosinya. Peran IQ dalam mendukung keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah EQ. Menurut Goleman (2000), beberapa konsep yang perlu diperhatikan adalah:
1.                    Kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah.” Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan sikap ramah melainkan sikap tegas.
2.                    Kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan perasaan untuk berkuasa, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresi dengan tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.
Dalam sebuah perusahaan yang banyak mengandalkan kerja kelompok atau tim, EQ mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung keberhasilan tim. Menurut Druskat dan Wolf (2001) hasil studi menunjukkan bahwa sebuah tim akan lebih kreatif dan produktif ketika di dalam tim tersebut tercipta suatu partisipasi, kooperasi dan kolaborasi di antara anggotanya. Akan tetapi perilaku interaktif tersebut memerlukan tiga kondisi yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya saling percaya di antara anggota (mutual trust among member) , kedua, setiap anggota mempunyai sense  of identity, yaitu bahwa timnya adalah suatu yang unik, kemudian yang ketiga, setiap anggota   tim mempunyai sense of efficacy, yaitu suatu kepercayaan bahwa tim akan bekerja lebih efektif jika setiap anggota bekerjasama dibandingkan apabila setiap anggota bekerja sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang cukup baik. Syarat tersedianya kondisi tersebut di atas adalah adanya emosi. Ketiga hal tersebut akan muncul dalam suatu lingkungan yang dalam hal ini emosi dikelola dengan baik.
EQ sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ). EQ memberi kita kesadaran mengenai perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Goleman (2000) menyatakan bahwa EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Menyusul temuan tentang EQ ini, pada akhir abad kedua puluh ditemukan lagi jenis kecerdasan yang ketiga yaitu kecerdasan spiritual, yang melengkapi gambaran utuh mengenai kecerdasan manusia. Zohar dan Marshall (2000) mendefinisi kecerdasan spiritual (SQ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, dan SQ ini merupakan kecerdasan manusia yang paling tinggi tingkatannya.  SQ digunakan untuk menghadapi masalah-masalah eksistensial, yaitu ketika orang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ dapat juga menjadikan orang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama, artinya seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agamanya tidak secara picik, eksklusif, fanatik atau prasangka. SQ juga memungkinkan orang untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani  kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang memiliki SQ tinggi cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain, dan bisa memberi inspirasi kepada orang lain.
Kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) merupakan sinergi dari EQ dan SQ yang pertama kali digagas oleh Ginanjar (2001) sebagai penggabungan antara  kepentingan dunia (EQ) dan kepentingan spiritual (SQ). Kecerdasan emosi-spiritual merupakan dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri dan juga perasaan serta suara hati orang lain, di mana suara hati adalah dasar kecerdasan emosi-spiritual dalam membangun ketangguhan pribadi sekaligus membangun ketangguhan sosial (Ginanjar, 2001).
Kecerdasan emosi-spiritual juga merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi untuk mencapai sinergi, yakni saling menjalin kerjasama antara seseorang atau kelompok orang dengan orang lain atau kelompok lain dan saling menghargai berbagai perbedaan, yang bersumber dari suara hati manusia sebagai dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri, juga perasaan  serta suara hati orang lain. Selama ini IQ, EQ dan bahkan SQ yang ada hanya berorientasi pada hubungan antar manusia, sedangkan nilai-nilai transendental (Ketuhanan) baru sebatas filosofis saja. SQ yang dipaparkan Danah Zohar dan Ian Marshall baru membahas sebatas adanya God-Spot pada otak manusia, tetapi tidak memiliki nilai transendental atau hubungan dengan Tuhan. Sedangkan kecerdasan emosi-spiritual (ESQ) sebagai sinergi dari EQ dan SQ ini sudah menjangkau nilai-nilai Ketuhanan. ESQ Model yang dikembangkan ini merupakan perangkat kerja dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian berdasarkan value driven (nilai yang mengerakkan), yang pada akhirnya akan menghasilkan manusia unggul di sektor emosi dan spiritual, yang mampu mengeksplorasi  dan menginternalisasi kekayaan ruhiyah dan jasadiyah dalam hidupnya (Ginanjar, 2001). 
Kecerdasan emosi-spiritual senantiasa berpusat pada prinsip atau kebenaran yang hakiki yang bersifat universal dan abadi. Ginanjar (2001) mengungkapkan beberapa tahapan yang digunakan membangun kecerdasan emosi-spiritual, yaitu:
1.       Penjernihan emosi (Zero Mind Process); tahap ini merupakan titik tolak dari kecerdasan emosi, yaitu kembali pada hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari segala belenggu. Ada tujuh hal yang dapat membelenggu dan menutupi fitrah (God-Spot), yaitu: prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding literatur. Tanpa disadari semua itu membuat manusia menjadi buta, sehingga tidak memiliki radar hati sebagai pembimbing. Manusia terjerumus ke dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan, kerusakan dan kehancuran, dan pada akhirnya mengakibatkan kegagalan.
2.       Membangun mental (Mental Building); berkenaan dengan pembentukan alam berpikir dan emosi secara sistematis. Pada bagian ini diharapkan akan tercipta format berpikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri, serta sesuai dengan hati nurani terdalam dari diri manusia. Di sini akan terbentuk karakter manusia yang memiliki tingkat kecerdasan emosi-spiritual sesuai dengan fitrah manusia, yang mencakup enam prinsip:
a.        Star Principle (prinsip bintang); terkait dengan rasa aman, kepercayaan diri, intuisi, integritas, kebijaksanaan dan motivasi yang tinggi, yang dibangun dengan landasan iman kepada Tuhan YME.
b.       Angel Principle (prinsip malaikat); yakni keteladanan malaikat, antara lain mencakup loyalitas, integritas, komitmen, kebiasaan memberi dan mengawali, suka menolong dan saling percaya.
c.        Leadership Principle (prinsip kepemimpinan); setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri untuk mengarahkan hidupnya. Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik disyaratkan melampaui lima tangga kepemimpinan (Ginanjar, 2001), yaitu pemimpin yang dicintai, pemimpin yang dipercaya, pemimpin yang menjadi pembimbing, pemimpn yang berkepribadian, dan menjadi pemimpin yang abadi. Dengan demikian pemimpin sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga ia pun dicintai, memiliki integritas yang kuat sehingga dipercaya pengikutnya, selalu membimbing dan mengajarkan kepada pengikutnya, memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten, dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan atas suara hati yang fitrah.
d.       Learning Principle (prinsip pembelajaran); mencakup kebiasaan membaca buku, membaca situasi, kebiasaan berpikir kritis, kebiasaan mengevaluasi, menyempurnakan dan memiliki pedoman. Manusia diberi kelebihan akal untuk berpikir, dan firman Tuhan yang pertama adalah berupa perintah membaca. Umat manusia diperintahkan untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut bermanfaat untuk kemanusiaan. Membaca merupakan awal mulanya ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan keberhasilan manusia.
e.        Vision Principle (prinsip masa depan); yakni selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam setiap langkah yang ditempuh, setiap langkah tersebut dilakukan secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial dengan kesadaran akan adanya “Hari Kemudian,” memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batin yang tinggi, yang tercipta oleh adanya keyakinan akan “Hari Pembalasan.”
f.        Well Organized Principle (prinsip keteraturan); selalu berorientasi pada manajemen yang teratur, disiplin, sistematis dan integratif. Perusahaan yang berhasil umumnya memiliki keteraturan manajemen yang baik, di samping diawali dengan misi dan visi yang jelas. Setiap bagian organisasi harus menyadari adanya saling keterkaitan satu dengan yang lain dalam kesatuan misi dan visi. Setiap orang harus memiliki perasaan yang sama bahwa mereka mempunyai tugas suci di dalam perusahaan untuk mencapai tujuan bersama.
3.       Ketangguhan pribadi (Personal Strength); merupakan langkah pengasahan hati yang telah terbentuk, yang dilakukan secara berurutan dan sangat sistematis, yang terdiri atas:
a.        Mission Statement; penetapan misi yakni membangun misi kehidupan, membulatkan tekad, membangun visi, menciptakan wawasan, transformasi visi, dan komitmen total.
b.       Character Building; pembangunan karakter, yang merupakan relaksasi, membangun kekuatan afirmasi, meningkatkan ESQ, membangun pengalaman positif, pembangkit dan penyeimbang energi batiniah dan pengasahan prinsip.
c.        Self Contolling; pengendalian diri guna meraih kemerdekaan sejati, memelihara fitrah, mengendalikan suasana hati, meningkatkan kecakapan emosi secara fisiologis, serta pengendalian prinsip.
4.          Ketangguhan sosial (Social Strength); merupakan suatu pembentukan dan pelatihan untuk melakukan aliansi, atau sinergi dengan orang lain, serta lingkungan sosialnya. Hal ini merupakan suatu perwujudan tanggung jawab sosial seorang manusia yang telah memiliki ketangguhan pribadi, yang dapat diperoleh melalui hal-hal berikut:
a.     Collaboration Strategy; hal ini dapat membangun landasan kooperatif, investasi kepercayaan, komitmen, kredibilitas, keterbukaan, empati dan kompromi.
b.     Tatal Action; yang dalam hal ini haji memiliki landasan zero mind, meningkatkan pengasahan komitmen dan integritas (melalui thawaf), pengasahan Adversity Quotient (AQ) yakni kecerdasan seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup atau tidak berputus asa, evaluasi dan visualisasi, mampu menghadapi tantangan serta melakukan sinergi.

Mulai saat ini berusahalah untuk memliki pribadi yang berkarakter. Utuk menghadapi arus globalisasi yang sebentar lagi akan dibuka kerannya sebesar-besarnya, maka hanya orang yang berkarakter kuat yang bisa menghadapinya, sedangkan yang berkarakter lemah pasti akan kalah akan menjadi jongos-jongos atau pembantu orang asing. Jangan Sampai...!!!

0 komentar:

Posting Komentar

Peternakan Kelinci Holland Lop Sheno dan Rizky
Jl. Cikadut Dalam (Arah Terminal Cicaheum Bandung) No. 270, RT 6/ RW 3, Mandalajati, Karang Pamulang, Mandalajati, Kota Bandung, Jawa Barat 40273
0819-1050-0571

www.jualkelincihollandlop.info